KUMPULAN CERPEN SANGGAR SASTRA TASIK (SST)........................KUMPULAN CERPEN SANGGAR SASTRA TASIK (SST)........................KUMPULAN CERPEN SANGGAR SASTRA TASIK (SST)........................KUMPULAN CERPEN SANGGAR SASTRA TASIK (SST)........................KUMPULAN CERPEN SANGGAR SASTRA TASIK (SST)........................KUMPULAN CERPEN SANGGAR SASTRA TASIK (SST)........................

Rabu, 15 Oktober 2014

CERITA POHON PINANG

Cerpen: Irvan Mulyadie

Sebuah pohon Pinang yang telah kehilangan kulit batang dan daunnya, tegak berdiri di tengah-tengah tegal rumput yang lapang. Warna hamparannya hijau kecoklatan akibat kemarau panjang. Matahari pagi mengukir bayangan Pinang hingga memanjang ke arah barat. Dan berujung tepat di kaki seorang perempuan tua yang tengah berdiri kaku.


Mak Sadrah, 84 tahun, matanya memandang puncak Pinang yang masih dihiasi formasi bambu dengan rangkaian kain perca dan tali plastik. Lalu angin usil memaksa perca dan tali itu melambai-lambai seolah ingin mengucapkan sesuatu kepadanya. Semacam kenangan.

17 Agustus kemarin, tempat ini penuh dengan keceriaan.  Hampir seluruh warga kampung Nagrog tumplek disana. Menonton berbagai atraksi kesenian dan mengikuti berbagai perlombaan yang khas dalam menyambut hari kemerdekaan. Sebuah ritual, pesta rakyat yang selalu berulang disetiap tahunnya.

            “Baiklah, Hadirin. Tiba saatnya untuk kita saksikan, lomba panjat Pinang…!!!”

Begitulah nyaring megaphone menyampaikan orasi yang diteriakan RT Dayat. Penonton pun bersorak-sorai menyambut para pria setengah telanjang yang mulai membangun formasi di pangkal Pinang. Beberapa diantaranya adalah remaja belasan tahun yang turut serta mengisi hari libur sekolahnya juga.

            “Merdeka…..!!!”

Tegal rumput yang biasanya lengang dan sunyi itu kini berubah rupa layaknya pasar malam di tengah kota. Keramaian telah mencapai puncaknya. Pedagang kakilima sibuk melayani pembeli. Sedangkan ibu-ibu banyak yang bersikeras menenangkan anak kecilnya yang sudah terbujuk rayu para penjaja mainan dan boneka.

Agak jauh dari tempat itu, Mak Sadrah juga menyaksikannya dengan lugu. Separuh hati bahagia karena telah turut serta memberikan kemeriahan dan hiburan untuk warga di kampungnya. Namun separuh hati yang lainnya seakan tak rela. Pinang itu, ya adalah pohon yang begitu berarti dan selalu memberinya semacam anugerah. Kesenangannya tersendiri.

Satu persatu peserta panjat pinang mulai berjatuhan. Wajah dan tubuhnya mandi keringat bercampur oli. Licin dan mengkilap. Sedangkan hadiah di puncak masih belum juga tersentuh. Beberapa peralatan rumah tangga dan lembaran amplop warna-warni terus menyemangati mereka. Gelak tawa terus bergema. Tapi Mak Sadrah belum sedikit pun melukis senyum di wajahnya yang tak lagi cantik seperti dulu. Keriput.
***

Ia ingat, sehari sebelum pesta rakyat itu berlangsung, para tetangga datang beramai-ramai ke rumahnya untuk minta persetujuan.  Saat itu Mak Sadrah sendiri sedang mengolah bahan-bahan untuk nyeupah*. Daun sirih, sedikit gambir dan kapur, kulit buah Pinang, juga sedikit cengkeh muda sebagai penambah aroma. Ingin rasanya ia cepat-cepat menguyah dan menggosok-gosokan ke giginya yang sebagian besar masih utuh dan nampak kuat.

“Mak kan tahu, perayaan kemerdekaan bangsa kita akan terasa hambar jika tak ada panjat Pinang. Ini adalah tradisi yang senantiasa harus kita pertahankan. Simbol perjuangan tentang betapa susahnya pahlawan-pahlawan kita terdahulu melawan dan mengusir para penjajah” Kata seorang tetangga meyakinkan.

“Mak juga ngerti, den. Tapi kenapa harus Pinangnya Mak? Itu kan satu-satunya Pinang yang Mak punya…”

“Ini dia masalahnya, Mak. Pohon Pinang di kebun Mak itu memiliki tinggi yang cukup. Sangat pantas untuk perlomabaan nanti”

Mak Sadrah tercenung gugup dengan mulut yang mulai merah mengunyah sirih. Para tetangga memberikan kesempatan barang sesaat walau pun dengan hati yang tak sabar. Mungkin dalam benaknya mereka menganggap Mak Sadrah kurang berjiwa nasionalis. Bagaimana tidak? Hanya pohon Pinang yang mereka minta. Tak lebih.
“Tapi….”

“Tapi apa, Mak?” 

“Kenapa tidak cari yang lain saja? Mak kan butuh itu untuk nyisig**

“Aduh, Mak-mak….Sudah beberapa kali kami bilang. Di sekitar kampung kita sudah tak lagi tumbuh pohon Pinang. Lagian kalau pun ada, kita mesti mendatangkannya dari luar. Berabe, mahal dan belum tentu selurus Pinang yang punya Mak…”

“Itu mah bukan salah Mak. Kenapa kemarin-kemarin tidak menanam dulu  kalau tahu setiap tahun kita butuh pohon itu? Kenapa?”

Rupanya para tetangga mulai kehilangan kesabaran. Bahkan sebagian ada yang berbisik-bisik.

“ Sudah, tuar*** saja. Urusan belakangan…”

“Jangan….” Timpal yang lain.

“ Sudahlah, begini saja. Mak mau kan menjualnya kepada kami? Berapa duit?”

“Mak tidak akan menjualnya. Maaf saja, ini satu-satunya milik Mak”

“Ini untuk kepentingan bersama, lho…..”

“Lalu kepentingan, mak ?!”

Semua terdiam. Mereka nampak gelisah demi melihat Mak Sadrah yang menyedihkan itu meneteskan airmata. Tapi mulutnya tak pernah henti dipermainkan jarinya sendiri dengan seonggok sirih lumat. Terkadang ludahnya yang kental kemerahan tak terbendung jatuh ke lantai.

Rasa iba mulai menyentuh jiwa para tetangganya. Ada benarnya kata Mak Sadrah. Mereka tak mungkin memaksa dan menari-nari di atas penderitaan orang lain. Bagaimana pun Mak Sadrah adalah orang tua, dan barangkali nenek moyang kampung Nagrog yang masih hidup. Saksi sejarah perjuangan negeri ini. Salah satu istri tokoh veteran, almarhum Aki Basadjan. Ya, Mak Sadrah juga pejuang. Mereka menikah di usia muda saat masih sama-sama berjuang untuk kemerdekaan. Aki Basadjan prajurit, sementara Mak Sadrah adalah perempuan yang bergiat membantu perjuangan TKR di dapur umum.

Tapi jika melihat hasil rapat panitia HUT RI yang telah memutuskan adanya lomba Panjat Pinang, oh, pasti akan banyak sekali orang yang kecewa. Apalagi sumbangan hadiah untuk rarangkennya sudah banyak. Sementara waktu yang tersisa sudah tak cukup untuk mendatangkannya dari luar. Ini gawat !

“Mak, ……” Para tetangga membujuk kembali.

Kali ini dengan nada yang tak lagi setengah memaksa.

“Kami datang pada Mak, karena kami yakin Emak bisa membantu kami. Ingat, Mak…. Ini adalah cara kita yang paling sederhana untuk menunjukkan rasa cinta kepada tanahair dan bangsa. Mungkin kami tak tahu sebagaimana Mak sendiri mengalami  peristiwa-peristiwa perjuangan itu bersama almarhum.
Ya, mungkin pada kenyataannya negara sendiri tidak pernah memberikan yang terbaik untuk Mak. Tapi berilah kami kesempatan untuk berbuat secuil saja dari kebaikan itu, menunjukkan betapa kami sangat menghargai sekaligus rasa hormat kami terhadap para pejuang terdahulu. Para veteran kemerdekaan yang tak pernah tercatat namanya dalam buku-buku sejarah, dan dimakamkan tidak di taman pahlawan, dan……”

“Cukup, nak…….Cukup!” Mak Sadrah lirih.

Ia hanya menunduk dan sesekali mengusap airmatanya yang kian deras. Namun ia tak bisa dengan begitu saja memupus kenangan yang tiba-tiba datang menampakkan dirinya dalam wujud wajah suaminya meski tersamar.

Perlahan sekali, Mak Sadrah bangkit. Ia mengangguk sebagai tanda kepada para tetangganya untuk mengikuti. Tapi mereka tak lantas memahaminya dengan cepat. Tertegun beberapa saat. Dan tersadar manakala Mak Sadrah bicara dengan lantang:
“Aku sendiri yang akan merobohkannya, apa kalian membawa golok ?”

***

“Mak. Mak, lihat…..!!!”

Seru seorang tetangga yang mendapati Mak Sadrah sedang berdiri di tegal rumput yang kecoklatan. Perempuan itu terhenyak dan melirik ke arah datangnya suara. Mulutnya komat-kamit dengan sedikit daun sirih yang dikunyahnya. Matanya memicing, silau.

“Mak, lihatlah. Ini pohon Pinangnya, Mak…..” Katanya sambil memperlihatkan sebundel koran yang memasang potret dramatis orang-orang yang sedang rebutan di pohon Pinang.

Di headlinenya. Nyaris setengah halaman penuh dan full colour. Tertulis judul dengan hurup yang besar-besar :
Kemeriahan HUT RI Ke-69, Panjat Pinang Mak Sadrah

Tundagan- Tasikmalaya


Catatan :
nyeupah (sunda) = Sepah/ Menyepah : mengunyah sesuatu untuk mengambil sarinya kemudian membuang ampasnya.
nyisig (sunda) = Sugi/menyugi: membersihkan gigi dsb dengan tembakau (ketika sedang makan sirih);

tuar (sunda) = tebang : memotongi (pohon dsb) sampai roboh;

Senin, 08 Februari 2010

KISANAK

Cerpen: Irvan Mulyadie

Alkisah, di sebuah negeri antah berantah, hiduplah seorang seniman multitalenta yang sangat gagah. Ia sangat terkenal dengan karya-karyanya yang indah. Dialah anak dari seorang ayah yang bernama Raja Wisunah. Ah, sudah. Mari kita mulai sajah ceritanyah....

Nama seniman itu adalah, Kisanak. Kemahirannya menggubah sesuatu yang tidak berharga menjadi karya seni bernilai tinggi telah membuat namanya harum ke seluruh antero negeri. Mulai dari sastra, lukisan, drama, film, dan karya artistik lainnya. Bahkan ada yang berani bohong, kalau nama Kisanak telah tercatat dalam buku world guiness of record versi bahasa tarzan. Ia tokoh sangat terpandang. Padahal tak setetes pun darah ningrat yang katanya berwarna biru itu mengalir dari tubuhnya yang kering kerontang bak perkebunan diterpa kemarau berkepanjangan. Saking cekingnya, bila dilihat dari samping, tubuh Kisanak nyaris serupa dengan kertas tipis made in ngirit karya anak negeri dan biasanya hasil cetak daur ulang. Nah, nama kisanak pun seolah-olah menjadi magnet tersendiri bagi penggemarnya. Sampai-sampai orang pun lupa bahwa mereka sudah tak lagi objektif dalam memberi penilaian atas karya-karyanya.

Ya, Kisanak sadar sesadar-sadarnya. Semenjak digandrungi oleh banyak orang, ia bukan lagi manusia merdeka. Bak selebriti. Yang namanya selebriti tentu saja tidak boleh berbuat salah. Apalagi salah langkah. Jaim dikitlah. Namun ternyata Kisanak ini stres juga akibat ulah dari para penggemarnya yang kebanyakan suka bertingkah aneh-aneh di depannya. Ingin disebut sebagai pengikut setia. Bahkan rela menjadi pasukan berani mati hanya untuk membela Kisanak jika sewaktu-waktu ada aral melintang seperti maung ngamuk gajah meta. Keterlaluan. Over acting. Dan lebih tepatnya, pikasebeleun.

Kemudian, lama-lama Kisanak ini sudah jadi semacam kultus dalam tanda petik. Banyak sekali orang yang ngekor dalam gaya keseniannya. Bahkan saat Kisanak dengan atau tanpa sengaja membanting stir dengan membuat karya non seni yang kurang masuk di akal, aneh, jorok, serta jauh dari kesan romantisme, eh, malah dapat penghargaan. Padahal, Kisanak main-main saja dalam karya tersebut. Kisanak hanya ingin membuktikan, bahwa dirinya hanyalah manusia biasa yang tak luput dari salah dan lupa. Bukan dewa. Setengahnya dewa jugak enggak. Heuheu, kayak lagu Iwan Fals saja. Dan bukan pula anak emasnya dewi fortuna. Memangnya mau dewi fortuna punya anak seperti Kisanak yang seniman krempeng itu? Mimpi kali, ye….

Tapi apa mau dikata? Sehabis Kisanak meluncurkan karya nyleneh (yang kalau boleh jujur sama sekali tidak nampak seperti karya seni) itu ke pasaran, ternyata sambutannya diluar dugaan. Luar biasa. Para kritikus seni menyebut Kisanak sebagai pembaharu yang fenomenal. Antik, dan tiada bandingnya. Media massa pun menyambutnya dengan sangat ramah. Mereka menulis di surat kabar dengan judul yang besar dan tebal disertai warna yang mencolok mata para pembaca sekaligus pula menusuk jantung banyak kawan dan lawannya yang iri dengki. Bagaimana tidak? Dia hanya menerbitkan buku resep masakan ala pengemis jalanan dengan judul: Coél Sambel dan Kekuasaan.

Oya, bagi anda yang belum kenal lebih jauh dengan Kisanak, saya akan mencoba mendeskripsikannya dengan cara saya sendiri. Maklum, dia bukan saudara kandung saya. Hanya beberapa kali saja saya berjumpa. Sesekalinya pernah ngobrol panjang lebar. Tapi kebanyakan hanya say hello. Namun yang membuat saya bangga adalah karena saya tahu perjalanan dari proses kreatifnya. Itu juga dari pengakuannya sendiri saat ngobrol panjang lebar tadi. Seperti monolog di tengah laut. Menggebu tapi tetap sebagai sunyi.

”Sesungguhnya aku malu jadi seniman...” katanya mengawali.

Tentu saja saya terkejut dengan pernyataan tersebut. Tapi tak berani berkomentar. Saya hanya mendengarkan saja seolah memahami akan apa yang dibicarakannya.

”....Sebagai orang yang dianggap mumpuni oleh kebanyakan orang lainnya, seharusnya aku tak boleh menutup diri seperti sekarang. Aku harus memberikan banyak hal, ilmu yang kumiliki, kepada banyak orang yang telah membuat aku menjadi besar seperti ini. Tapi kebesaran macam apa? Aku tak tahu. Hanya seperti inilah keadaannya.

Mereka yang mengelu-elukanku seakan itu yang aku harapkan. Sebenarnya tidak. Sebelumnya aku mengira kalau ketenaran akan membawaku pada puncak kebahagiaan. Membuka banyak jalan dan peluang dalam hidup serta menikmatinya sebagai seorang pemenang yang dapat mengangkangi mayat lawan-lawannya yang kini berubah status sebagai pecundang. Lagi-lagi itu hal yang keliru.

Dulu, seniman adalah cita-citaku. Sebab hanya senilah yang mampu membawaku pada suatu dunia antah berantah yang paling nikmat meski terlihat asing. Kebebasan, ya. Namun kenyataan berkata lain. Sekarang aku tak lagi menikmati karya seniku sendiri. Semuanya nampak sebagai barang komoditi. Dikoleksi, namun bukan untuk didalami atau direnungi akan makna di sebaliknya. Tapi hanya dijadikan objek lelang saja. Bahkan dianggap sebagai alat pencuci uang”.

Kisanak menghela nafas. Direguknya kopi pahit yang sudah dingin itu. Kemudian menyalakan kembali sigaret kreteknya yang tinggal seperempatnya lagi. Saya juga sedikit mengalihkan perhatian ke arah lalulalang kendaraan yang mulai jarang. Warung kopi pinggir jalan ini serasa lebih sepi. Saya juga sempat melirik ke arah kakek penjaja kopi yang mulai ngantuk dibuai dinginnya malam.

”Oya, kawan.....” Katanya melanjutkan”.....Aku harap engkau jangan menjadi orang sepertiku. Menjadi orang besar adalah resiko terburuk dalam hidupku. Membuat gila. Setiap gerak-gerik selalu merasa diawasi. Was-was jadinya. Apapun yang kulakukan selalu dianggap benar walau kenyataannya itu salah. Bahkan saat aku dipenjara akibat mengencingi simbol negara.

Sekarang aku sungguh putus asa. Potensiku yang besar tidak malah membuat hatiku lebih lapang. Pernah juga aku ingin banting stir menjadi penceramah agama saja. Setidaknya aku dapat berbuat lebih banyak untuk umat yang selama ini selalu tertipu oleh permainan dunia. Tapi tak mungkin. Miskinnya referensi membuatku kehilangan rasa. Apalagi kebanyakan pemuka agama sekarang ini tak lebih dari sekedar penyanyi dangdut. Dogma-dogma rohaniah dijual murah asal meriah. Bahkan digadaikan untuk urusan politik praktis yang tak jelas alang ujurnya. Memalukan. Entah sorga atau neraka mana yang mereka bicarakan. Dulu, ada juga yang menawariku sebagai ketua umum dari Partai Rakyat Iseng. Tentu saja aku tak mau. Partai dengan nama yang bagus-bagus saja banyak yang ngisengin rakyat, apalagi yang blak-blakan”.

Tiba-tiba sorot matanya menusuk tajam ke dalam kornea mata saya. Tembus ke hati. Dan suaranya bergetar dengan nada-nada yang aneh. Saya bergetar. Bahkan ngompol di celana. Bukannya takut, tapi.....entahlah.
”Kawan, malam ini aku akan bunuh diri. Tapi kau tidak boleh memberitahu-kannya pada siapapun juga. Kecuali kalau mayatku sudah ditemukan. Dan ingat, hanya dirimu yang tahu akan rencana ini”.

Saya hampir pingsan mendengarnya. Seluruh syaraf dan otot-otot dalam tubuh saya seakan tak berfungsi. Lemas.

”Kau tahu dimana aku akan mati?”

Saya gelengkan kepala dengan mata yang melotot. Dijambaknya krah baju saya. Lalu berbisik dengan mulutnya yang menempel hangat di telinga.

”..........”

Pagi tadi, mayatnya baru ditemukan. Terbujur kaku dalam gorong-gorong selokan yang alirannya menuju ke arah gedung pemerintahan di pusat kota. Dadanya penuh dengan sayatan silet tajam. Dan lukanya membentuk kalimat: Terimalah Cintaku.....

Tasikmalaya, 10-11-08/09