Cerpen: Irvan Mulyadie
Sebuah pohon Pinang yang telah kehilangan kulit batang dan daunnya, tegak berdiri di tengah-tengah tegal rumput yang lapang. Warna hamparannya
hijau kecoklatan akibat kemarau panjang. Matahari pagi mengukir bayangan Pinang
hingga memanjang ke arah barat. Dan berujung tepat di kaki seorang perempuan tua yang tengah berdiri kaku.
Mak Sadrah, 84 tahun, matanya memandang puncak Pinang yang masih dihiasi
formasi bambu dengan rangkaian kain perca dan tali plastik. Lalu angin usil
memaksa perca dan tali itu melambai-lambai seolah ingin mengucapkan sesuatu
kepadanya. Semacam kenangan.
17 Agustus kemarin, tempat ini penuh dengan keceriaan. Hampir seluruh warga kampung Nagrog tumplek
disana. Menonton berbagai atraksi kesenian dan mengikuti berbagai perlombaan
yang khas dalam menyambut hari kemerdekaan. Sebuah ritual, pesta rakyat yang
selalu berulang disetiap tahunnya.
“Baiklah, Hadirin. Tiba saatnya
untuk kita saksikan, lomba panjat Pinang…!!!”
Begitulah nyaring megaphone menyampaikan orasi yang diteriakan RT Dayat.
Penonton pun bersorak-sorai menyambut para pria setengah telanjang yang mulai
membangun formasi di pangkal Pinang. Beberapa diantaranya adalah remaja belasan tahun yang turut serta mengisi
hari libur sekolahnya juga.
“Merdeka…..!!!”
Tegal rumput yang biasanya lengang dan sunyi itu kini berubah rupa layaknya
pasar malam di tengah kota. Keramaian telah mencapai puncaknya. Pedagang
kakilima sibuk melayani pembeli. Sedangkan ibu-ibu banyak yang bersikeras
menenangkan anak kecilnya yang sudah terbujuk rayu para penjaja mainan dan
boneka.
Agak jauh dari tempat itu, Mak Sadrah juga menyaksikannya dengan lugu.
Separuh hati bahagia karena telah turut serta memberikan kemeriahan dan hiburan
untuk warga di kampungnya. Namun separuh hati yang lainnya seakan tak rela.
Pinang itu, ya adalah pohon yang begitu berarti dan selalu memberinya semacam
anugerah. Kesenangannya tersendiri.
Satu persatu peserta panjat pinang mulai berjatuhan. Wajah dan tubuhnya
mandi keringat bercampur oli. Licin dan mengkilap. Sedangkan hadiah di puncak
masih belum juga tersentuh. Beberapa peralatan rumah tangga dan lembaran amplop
warna-warni terus menyemangati mereka. Gelak tawa terus bergema. Tapi Mak
Sadrah belum sedikit pun melukis senyum di wajahnya yang tak lagi cantik
seperti dulu. Keriput.
***
Ia ingat, sehari sebelum pesta rakyat itu berlangsung, para tetangga datang
beramai-ramai ke rumahnya untuk minta persetujuan. Saat itu Mak Sadrah sendiri sedang mengolah
bahan-bahan untuk nyeupah*. Daun sirih, sedikit gambir dan kapur, kulit buah
Pinang, juga sedikit cengkeh muda sebagai penambah aroma. Ingin rasanya ia
cepat-cepat menguyah dan menggosok-gosokan ke giginya yang sebagian besar masih
utuh dan nampak kuat.
“Mak kan tahu,
perayaan kemerdekaan bangsa kita akan terasa hambar jika tak ada panjat Pinang.
Ini adalah tradisi yang senantiasa harus kita pertahankan. Simbol perjuangan
tentang betapa susahnya pahlawan-pahlawan kita terdahulu melawan dan mengusir
para penjajah” Kata seorang tetangga meyakinkan.
“Mak juga ngerti,
den. Tapi kenapa harus Pinangnya Mak? Itu kan satu-satunya Pinang yang Mak
punya…”
“Ini dia
masalahnya, Mak. Pohon Pinang di kebun Mak itu memiliki tinggi yang cukup.
Sangat pantas untuk perlomabaan nanti”
Mak Sadrah tercenung gugup dengan mulut yang mulai merah mengunyah sirih.
Para tetangga memberikan kesempatan barang sesaat walau pun dengan hati yang
tak sabar. Mungkin dalam benaknya mereka menganggap Mak Sadrah kurang berjiwa
nasionalis. Bagaimana tidak? Hanya pohon Pinang yang mereka minta. Tak lebih.
“Tapi….”
“Tapi apa, Mak?”
“Kenapa tidak cari yang lain saja? Mak kan butuh itu untuk nyisig**”
“Aduh,
Mak-mak….Sudah beberapa kali kami bilang. Di sekitar kampung kita sudah tak
lagi tumbuh pohon Pinang. Lagian kalau pun ada, kita mesti mendatangkannya dari
luar. Berabe, mahal dan belum
tentu selurus Pinang yang punya Mak…”
“Itu mah bukan
salah Mak. Kenapa kemarin-kemarin tidak menanam dulu kalau tahu setiap tahun kita butuh pohon itu?
Kenapa?”
Rupanya para tetangga mulai kehilangan kesabaran. Bahkan sebagian ada yang
berbisik-bisik.
“ Sudah, tuar*** saja. Urusan belakangan…”
“Jangan….” Timpal yang lain.
“ Sudahlah, begini saja. Mak mau kan menjualnya kepada kami? Berapa duit?”
“Mak tidak akan menjualnya. Maaf saja, ini satu-satunya milik Mak”
“Ini untuk kepentingan bersama, lho…..”
“Lalu kepentingan, mak ?!”
Semua terdiam. Mereka nampak gelisah demi melihat Mak Sadrah yang menyedihkan itu meneteskan airmata. Tapi mulutnya tak
pernah henti dipermainkan jarinya sendiri dengan seonggok sirih lumat.
Terkadang ludahnya yang kental kemerahan tak terbendung jatuh ke lantai.
Rasa iba mulai menyentuh jiwa para tetangganya. Ada benarnya kata Mak Sadrah. Mereka tak mungkin
memaksa dan menari-nari di atas penderitaan orang lain. Bagaimana pun Mak
Sadrah adalah orang tua, dan barangkali nenek moyang kampung Nagrog yang masih
hidup. Saksi sejarah perjuangan negeri ini. Salah satu istri tokoh veteran,
almarhum Aki Basadjan. Ya, Mak Sadrah juga pejuang. Mereka menikah di usia muda
saat masih sama-sama berjuang untuk kemerdekaan. Aki Basadjan prajurit,
sementara Mak Sadrah adalah perempuan yang bergiat membantu perjuangan TKR di
dapur umum.
Tapi jika melihat hasil rapat panitia HUT RI yang telah memutuskan adanya
lomba Panjat Pinang, oh, pasti akan banyak sekali orang yang kecewa. Apalagi
sumbangan hadiah untuk rarangkennya sudah banyak. Sementara waktu yang
tersisa sudah tak cukup untuk mendatangkannya dari luar. Ini gawat !
“Mak, ……” Para tetangga membujuk kembali.
Kali ini dengan
nada yang tak lagi setengah memaksa.
“Kami datang pada
Mak, karena kami yakin Emak bisa membantu kami. Ingat, Mak…. Ini adalah cara
kita yang paling sederhana untuk menunjukkan rasa cinta kepada tanahair dan
bangsa. Mungkin kami tak tahu sebagaimana Mak sendiri mengalami peristiwa-peristiwa perjuangan itu bersama
almarhum.
Ya, mungkin pada kenyataannya negara sendiri tidak pernah memberikan yang
terbaik untuk Mak. Tapi berilah kami kesempatan untuk berbuat secuil saja dari
kebaikan itu, menunjukkan betapa kami sangat menghargai sekaligus rasa hormat
kami terhadap para pejuang terdahulu. Para veteran kemerdekaan yang tak pernah
tercatat namanya dalam buku-buku sejarah, dan dimakamkan tidak di taman
pahlawan, dan……”
“Cukup, nak…….Cukup!” Mak Sadrah lirih.
Ia hanya menunduk dan sesekali mengusap airmatanya yang kian deras. Namun
ia tak bisa dengan begitu saja memupus kenangan yang tiba-tiba datang
menampakkan dirinya dalam wujud wajah suaminya meski tersamar.
Perlahan sekali, Mak Sadrah bangkit. Ia mengangguk sebagai tanda kepada
para tetangganya untuk mengikuti. Tapi mereka tak lantas memahaminya dengan
cepat. Tertegun beberapa saat. Dan tersadar manakala Mak Sadrah bicara dengan
lantang:
“Aku sendiri yang akan merobohkannya, apa kalian membawa golok ?”
***
“Mak. Mak, lihat…..!!!”
Seru seorang tetangga yang mendapati Mak Sadrah sedang berdiri di tegal
rumput yang kecoklatan. Perempuan itu terhenyak dan melirik ke arah datangnya
suara. Mulutnya komat-kamit dengan sedikit daun sirih yang dikunyahnya. Matanya memicing, silau.
“Mak, lihatlah. Ini pohon Pinangnya, Mak…..” Katanya sambil memperlihatkan sebundel koran yang
memasang potret dramatis orang-orang yang sedang rebutan di pohon Pinang.
Di headlinenya. Nyaris setengah halaman penuh dan full colour. Tertulis judul dengan hurup yang besar-besar :
Kemeriahan HUT RI Ke-69, Panjat Pinang Mak Sadrah
Tundagan- Tasikmalaya
Catatan :
nyeupah (sunda) = Sepah/ Menyepah : mengunyah sesuatu untuk mengambil sarinya
kemudian membuang ampasnya.
nyisig (sunda) = Sugi/menyugi: membersihkan gigi dsb dengan tembakau (ketika sedang makan sirih);
tuar (sunda) = tebang : memotongi (pohon dsb) sampai roboh;
Tidak ada komentar:
Posting Komentar